Senin, 12 Mei 2014

Psikologi Agama

<script language="JavaScript" src="https://sites.google.com/site/adiwidget/adiWidget.js" type="text/javascript"></script><script language="JavaScript" type="text/javascript">eXl1lXc('https://6481650730899347971-a-1802744773732722657-s-sites.googlegroups.com/site/adiwidget/ahlan-5.swf','bottom','0px','right','0px','123202','150','300','transparent','ffffff');</script>>>add gadget



PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG
DEWASA DAN USIA LANJUT

MAKALAH 

BAB I
PENDAHULUAN
            Hubungan manusia dengan sesuatu yang di anggap adikodrati (supernatural) memang memiliki latar belakang sejarah yang  sudah lama dan cukup panjang. Latar belakang ini dapat dilihat dari pernyataan para ahli yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda, termasuk para agamawan yang mendasarkan pendapatnya pada informasi kitab suci masing-masing.
            `Dilain pihak, para agamawan dari berbagai agama yang ada memperkuat hubungan tersebut. Berdasarkan informasi dari kitab suci hubungan manusia dengan dzat adikodrati ini digambarkan sebagai hubungan  antara makhluk ciptaan dengan sang pencipta. Dan hubungan ini sudah ada sejak manusia pertama, yaitu Adam as. Karenanya  hubungan manusia dengan Tuhan menurut agamawan adalah hubungan yang bersifat kodrati, bukan hasil rekayasa yang bersifat artifisialis.
            Menurut agamawan selanjutnya, bahwa memang pada batas-batas tertentu, barangkali permasalahan tertentu, barangakali permasalahan agama dapat dilihat sebagai fenomena yang sangat empiris dan dapat dipelajari dan diteliti. Tetapi dibalik itu semua ada wilayah wilayah khusus yang sama sekali tak mungkin atau bahkan terlarang untuk dikaji secarta empiris.
            Jiwa keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik. Sehubungan dengan  perkembangan manusia dan periode perkembangan tersebut perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut. Yang pembahasanya akan di terangkan lebih mendetail pada makalah ini.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Agama Pada Masa Dewasa
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a)       Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b)      Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan social.
c)        Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.[1]

B.     Sikap Keberagamaan Pada Orang Dewasa
            Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas, periode adolesen. Dengan semboyan yang merupakan ungkapan batin mereka. Diperiode prapubertas oleh Charlotte buchler dengan kata-kata : “perasaan saya tidak enak, tapi tidak tahu apa sebabnya.”untuk periode prapubertas dilukiskanya sebagai berikut: “saya ingin sesuatu tapi tidak tahu ingin akan apa.” Adapun dalam periode adolesen ia mengungkapkan dengan kata-kata. “saya hidup dan saya tahu untuk apa.”
            Kata-kata yang digunakan Charlotte buchler tersebut mengungkapkan betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan diusia remaja mereka. Sebaliknya saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kemantapan jiwa mereka: “saya hidup dan saya tahu untuk apa.” menggambarkan bahwa diusia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup dengan kata lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas-identitas yang  jelas dan kepribadian yang mantap.
            Menurut H. Carl Witherington, diperiode adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas. Sekarang mereka memulai berpikir tentang tanggung jawab sosial moral, ekonomis, dan keagamaan.
Pada masa adolesen anak-anak berusaha untuk mencapai cita-cita yang abstrak. Diusia dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat kepribadian yang stabil. Stabilisasi sifat-sifat kepribadian ini antara lain terlihat dari cara bertindak dan bertingkah laku yang agak bersifat tetap (tidak mudah berubah-ubah) dan selalu berulang kembali.
            Kemantapan jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. pokoknya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang diusia dewasa sulit untuk diubah. Jika terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang matang.
            Sebaliknya, jika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama. Itupun akan dipertahankanya  sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang anti agama, bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak  jarang sikap antiagama seperti itu diperlihatkanya dalam bentuk sikap menolak hingga ketindakan memusuhi agama yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
            Ciri-ciri sikap keberagamaan orang dewasa:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang.
2.      Cenderung bersifat realis.
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri.
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama.
7.      Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial.[2]


C.     Manusia Usia Lanjut Dan Agama
            Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunanya lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya. Penurunan ini, terutama penurunan otak digambarkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:
            ....dan diantara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling hina (tua renta), supaya dia tidak mengetahui segala sesuatupun yang pernah diketahuinya.... (QS an-nahl 16:70)
Berkaitan dengan berbagai penurunan di usia tua. Nabi muhammad SAW pernah berdoa kepada Allah: “dan aku berlindung kepadamu dari usia yang paling hina (tua renta)”. Namun orang yang baik tidak akan menyesali umurnya yang panjang sebagaimana dinyatakan hadits:
“Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang panjang umurnya dan baik pula amalanya”(HR At-tirmidhi)[3]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dalam banyak hal tak jarang para ahli psilologi menghubungkan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan kegairahan seksual, mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini william james menyatakan, bahwa umur keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia tua. Agaknya pendapat william james masih banyak dijadikan rujukan dalam melihat korelasi antara kehidupan keagamaan dengan kehidupan seksual.



Secara garis besarnya ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada  usia lanjut sudah mencapai tingkat kematangan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah pada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia, serta sifat-sifat luhurnya.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan bentuk sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam rangka mennuju kematangan beragama, yaitu:
a.       Faktor diri sendiri
Faktor ini terbagi menjadi dua yaitu kapasitas diri dan pengalaman.
b.      Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, willliam starbuck sebagaimana yang dipaparkan oleh william james, mengemukakan dua faktor yang memengaruhi sikap keagamaan seseorang yaitu:
1.      Faktor internal, terdiri dari:
a.       Temperamen
Tingkahlaku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap keberagamaan seseorang. Seperti seseorang yang melankolis akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandanganya terhadap agama. Hal demikian juga akan memengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b.      Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukan kelainan pada sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalamaan keagamaan seseorang yang ditampilkan pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c.       Konflik dan Keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap  seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, ataupun ateis.
d.      Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya dari tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup terutama saat menghadapi musibah.
2.      Faktor eksternal, yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a)      musibah
b)      kejahatan.[4]

D.    Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
            Dilingkungan peradaban barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan di patijompo. Dipanti ini para manusia usia lanjut ini mendapatkan perawatan yang intensif. Sebaliknya, dilingkungan keluarga umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut.
Disatu pihak memang terkadang mereka yang berusia lanjut itu memiliki sikap dan tingkah laku yang berbeda dengan mereka yang masih muda, anak atau cucu mereka. Perbedaan ini menimbulkan ketidakharmonisan keluarga yang terdapat manusia usia lanjut. Kondisi seperti itu umumnya dinilai sebagai sesuatu yang menyulitkan.
Tradisi keluarga barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka kepanti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak pada orang tuanya. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada dilingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab, umumnya pada orang tua yang tinggal dilingkungan keluarga dalam kesendirian.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebenkan pada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti pompo . perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga allah menunjukkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memerlakukan kedua orangtua mereka dengan kasih sayang.[5]
Dalam islam menghormati dan menghargai serta berbakti kepada orangtua merupakan kewajiban yang harus dipatuhi, karena begitu besar pengorbanan kedua orang tua. Sampai Allah berwasiat kepada umat manusia untuk berbuat baik kepada keduanya terlebih ibu.
Dalam ayat yang lain Allah mengatakan bahwa ketika kedua orang tua memeksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kau tidak mengetahuinya maka janganlah engkau ikuti dia dan pergaulilah dengan baik selama di dunia, hal itu menunjukan bahwa kepada orang tua yang syirikpun seorang anak harus berbuat baik selama hidupnya di dunia, terlebih jika kedua orang tuanya orang yang  beriman kepada Allah maka tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk tidak berbakti kepadanya.[6]

BAB III
PENUTUP
Sehubung dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya.  Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.
Perkembangan pada Masa Dewasa ada tiga tingkatan, yaitu:
·         Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
·         Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
·         Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.

 Perkembangan jiwa keagamaan pada masa usia lanjut
Masalah-masalah keberagamaan pada masa masa ini, minat dan kegiatan beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.






DAFTAR PUSTAKA
Ø  Jalaluddin. 2010. Psikologi agama. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Ø  Hasan, Purwakania Aliah. 2006.Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Ø  Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.
Ø  Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Sukses Offset.




[2] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT Grafindo Persada, 2010), hlm.
[3] Aliah Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006), hlm.116.
[4] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta:PT raja grafindo persada, 2004), hlm.92-96.
[5] Jalaluddin, Op Cit, hlm.117-118
[6] Juwariyah, Hadis Tarbawi,  (Yogyakarta:  Sukses Offset, 2010), hlm. 17

Selasa, 25 Februari 2014

Sosiologi Pendidikan



MASALAH PUTUS SEKOLAH (DO), PENGANGGURAN DAN PENDIDIKAN WIRASWASTA
MAKALAH



1.      Masalah Putus Sekolah (Drop Out)
Putus Sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya. Misalnya seorang warga masyarakat/ anak yang hanya mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar (SD) sampai kelas 5 (lima) disebut sebagai putus Sekolah SD (belum tamat SD/ tanpa STTB).
Masalah putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah kemudian tidak bekerja atau berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu ketenteraman masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau pengalaman intelektual serta tidak memiliki keterampilan yang dapat menopang kehidupannya sehari-hari. Terlebih bila mengalami frustasi dan merasa rendah diri tetapi bersikap overkompensasi bias menimbulkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan kenakalan yang bertentangan dengan norma-norma social yang positif.[1]
Ada 3 langkah yang dapat dilakukan, yaitu:
a.       Langkah Preventif
Membeli para peserta didik dengan keterampilan-keterampilan praktis dan bermanfaat sejak dini agar kelak bila diperlukan dapat merespons tantangan-tantangan hidup dalam masyarakat secara positif sehingga dapat mandiri dan tidak menjadi beban masyarakat atau menjadi parasit masyarakat. Misalnya keterampilan-keterampilan kerajinan, jasa, perbengkelan, elektronika, PKK, fotografi, batik, dan lain sebagainya.
b.      Langkah Pembinaan
Memberikan pengatahuan-pengetahuan praktis yang mengikuti perkembangan/ pembaruan zaman melalui bimbingan dan latihan-latihan dalam lembaga-lembaga social/ pendidikan luar sekolah seperti LKMD, PKK, dll.
c.       Langkah Tindak Lanjut
Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk terus melangkah maju melalui penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang sesuai kemampuan masyarakat tanpa mengada-ada termasuk membina hasrat pribadi untuk berkehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Misalnya memberikan penghargaan, bonus, keteladanan, kepahlawanan dan sebagainya sampai berbagai kemudahan untuk melanjutkan studi dengan program Belajar Jarak Jauh (BJJ), seperti Universitas Terbuka dsb, juga melalui koperasi dengan berbagai kredit (KIK, KCK, Kredit Profesi, dsb).[2]

2.      Masalah Pengangguran
Dalam Bahasa Belanda memiliki tiga arti, yaitu:
a.       Werkeloos: bagi pensiunan pegawai negeri meskipun tanpa bekerja setiap bulannnya dapat menerima uang pension bahkan  juga mendapat kenaikan uang pension sesuai ketentuann yang berlaku.
b.      Werkloos: bagi penduduk didaerah dingin, pada musim Winter mereka tidak perlu bekerja dan kebutuhan hidup sehari-hari telah mereka persiapkan pada hari-hari menjelang Winter datang.
c.       Werklooze: bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan, tetapi tanpa/ belum memperoleh pekerjaan.
Pengangguran yang sering menjadi masalah sosial adalah mereka yang enggan bekerja atau kurang gigih berusaha bahkan tidak mau berusaha, tetapi ingin enak dan terpenuhi kebutuhannya alias menjadi “parasit” masyarakat/ keluarga/ orang tua/ saudaranya.[3]
3.      Pendidikan Wiraswasta untuk Mengurangi Pengangguran dan Kemiskinan
a.       Definisi
Pengertian/ definisi wiraswasta dapat ditinjau secara nominal dan secara real. Definisi nominal/ harfiah dari kata wiraswasta (dari bahasa Sansekerta), ialah:
Wira: berani, perkasa, utama
Swa: (sendiri): berdiri menurut kekuatan sendiri: mandiri
Sta: (berdiri)
Definisi real/ operasional:
Wiraswasta adalah keberanian, keperkasaan, keutamaan dalam memenuhi kebutuhan hidup (sekeluarga) serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri.
Dengan kata lain dapat juga disebutkan bahwa:
Wiraswasta adalah sikap hidup yang memiliki keberanian, keperkasaan serta keutamaan dalam merespons setiap tantangan hidup dengan mengutamakan kekuatan sendiri.[4]
b.      Ciri-ciri Manusia Wiraswasta
Secara umum, manusia wiraswasta adalah orang yang memiliki potensi untuk berprestasi. Ia senantiasa memiliki motivasi yang besar untuk maju berprestasi. Dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun, manusia wiraswasta mampu menolong dirinya sendiri didalam mengatasi permasalahan hidupnya. Dengan kekuatan yang ada pada dirinya, manusia wiraswasta mampu berusaha untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya.[5]
Ciri-ciri manusia wiraswasta, diantaranya:
·         Memiliki Moral yang Tinggi
Manusia yang bermoral tinggi bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kemerdekaan batin, yaitu kemerdekaan yang ditandai oleh adanya keselarasan antara keinginan-keinginan dengan pandangan dalam diri seseorang, adanya keselarasan antara kemauan dengan pengenalan diri atau seorang akan merasakan kemerdekaan batin apabila setiap tingkah lakunya sesuai dengan kemauan serta pengenalan diri. Disamping itu juga memiliki loyalitas terhadap hukum, sifat adil dan lebih mementingkan keutamaan.
·         Memiliki Sikap Mental Wiraswasta
Manusia yang bermental wiraswasta mempunyai kemauan keras untuk mencapai tujuan dan kebutuhan hidupnya, punya sifat jujur dan tanggungjawab, memiliki ketahanan fisik dan mental, tekun dan ulet dalam bekerja dan berusaha.
·         Memiliki Kepekaan terhadap Arti Lingkungan
Dengan belajar dan bekerja itu manusia memperoleh kemajuan dan keberhasilan dalam hidup. Lingkungan ikut mendukung usaha belajar dan bekerja manusia asalkan manusia mengenal dan mendaya gunakannya.
·         Memiliki Keterampilan Wiraswasta
Untuk menjadi manusia wiraswasta diperlukan beberapa keterampilan, seperti keterampilan berfikir kreatif, keterampilan dalam pembuatan keputusan, keterampilan dalam kepemimpinan dan keterampilan dalam bergaul antar manusia.[6]


[1] Ary H. Gunawan, SOSIOLOGI PENDIDIKAN Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hlm 71-72
[2] Ary H. Gunawan, Ibid, hlm 72-73
[3] Ary H. Gunawan, Ibid, hlm 73
[4] Ary H. Gunawan, Ibid, hlm 75-76
[5] Wasty Soemanto, Pendidikan Wiraswasta (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm 43
[6] Wasty Soemanto, Ibid, hlm 54-77