<script language="JavaScript" src="https://sites.google.com/site/adiwidget/adiWidget.js" type="text/javascript"></script><script language="JavaScript" type="text/javascript">eXl1lXc('https://6481650730899347971-a-1802744773732722657-s-sites.googlegroups.com/site/adiwidget/ahlan-5.swf','bottom','0px','right','0px','123202','150','300','transparent','ffffff');</script>>>add gadget
PERKEMBANGAN
JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG
DEWASA
DAN USIA LANJUT
MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
Hubungan manusia dengan sesuatu yang
di anggap adikodrati (supernatural) memang memiliki latar belakang sejarah
yang sudah lama dan cukup panjang. Latar
belakang ini dapat dilihat dari pernyataan para ahli yang memiliki disiplin
ilmu yang berbeda, termasuk para agamawan yang mendasarkan pendapatnya pada
informasi kitab suci masing-masing.
`Dilain pihak, para agamawan dari
berbagai agama yang ada memperkuat hubungan tersebut. Berdasarkan informasi
dari kitab suci hubungan manusia dengan dzat adikodrati ini digambarkan sebagai
hubungan antara makhluk ciptaan dengan
sang pencipta. Dan hubungan ini sudah ada sejak manusia pertama, yaitu Adam as.
Karenanya hubungan manusia dengan Tuhan
menurut agamawan adalah hubungan yang bersifat kodrati, bukan hasil rekayasa
yang bersifat artifisialis.
Menurut agamawan selanjutnya, bahwa
memang pada batas-batas tertentu, barangkali permasalahan tertentu, barangakali
permasalahan agama dapat dilihat sebagai fenomena yang sangat empiris dan dapat
dipelajari dan diteliti. Tetapi dibalik itu semua ada wilayah wilayah khusus
yang sama sekali tak mungkin atau bahkan terlarang untuk dikaji secarta
empiris.
Jiwa keagamaan yang termasuk aspek
rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik.
Sehubungan dengan perkembangan manusia
dan periode perkembangan tersebut perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat
dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut. Yang pembahasanya akan di terangkan
lebih mendetail pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Pada Masa Dewasa
Elizabeth B.
Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a)
Masa dewasa awal (masa dewasa
dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa
pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan
masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan
masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri
pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b)
Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung
dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi
dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria
dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan
memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang
baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya,
dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan
pribadi dan social.
c)
Masa usia lanjut (masa tua/older
adult)
Usia lanjut adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun
sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan
psikologis yang semakin menurun.[1]
B. Sikap Keberagamaan Pada Orang Dewasa
Charlotte Buchler melukiskan tiga
masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas, periode adolesen.
Dengan semboyan yang merupakan ungkapan batin mereka. Diperiode prapubertas
oleh Charlotte buchler dengan kata-kata : “perasaan saya tidak enak, tapi tidak
tahu apa sebabnya.”untuk periode prapubertas dilukiskanya sebagai berikut:
“saya ingin sesuatu tapi tidak tahu ingin akan apa.” Adapun dalam periode
adolesen ia mengungkapkan dengan kata-kata. “saya hidup dan saya tahu untuk apa.”
Kata-kata yang digunakan Charlotte
buchler tersebut mengungkapkan betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak
ketika menginjak usia menjelang remaja dan diusia remaja mereka. Sebaliknya
saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kemantapan jiwa mereka: “saya
hidup dan saya tahu untuk apa.” menggambarkan bahwa diusia dewasa orang sudah
memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup dengan kata lain,
orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan
nilai-nilai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas-identitas
yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Menurut H. Carl Witherington,
diperiode adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan mendapat perhatian yang
tegas. Sekarang mereka memulai berpikir tentang tanggung jawab sosial moral,
ekonomis, dan keagamaan.
Pada
masa adolesen anak-anak berusaha untuk mencapai cita-cita yang abstrak. Diusia
dewasa biasanya seseorang sudah memiliki sifat kepribadian yang stabil.
Stabilisasi sifat-sifat kepribadian ini antara lain terlihat dari cara
bertindak dan bertingkah laku yang agak bersifat tetap (tidak mudah
berubah-ubah) dan selalu berulang kembali.
Kemantapan jiwa orang dewasa ini
setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang
dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya,
baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari
norma-norma lain dalam kehidupan. pokoknya, pemilihan nilai-nilai tersebut
telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini,
maka sikap keberagamaan seorang diusia dewasa sulit untuk diubah. Jika terjadi
perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbangan yang
matang.
Sebaliknya, jika seorang dewasa
memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama. Itupun akan
dipertahankanya sebagai pandangan
hidupnya. Kemungkinan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap
yang anti agama, bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat
kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan
tak jarang sikap antiagama seperti itu
diperlihatkanya dalam bentuk sikap menolak hingga ketindakan memusuhi agama
yang dinilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Ciri-ciri sikap keberagamaan orang
dewasa:
1. Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang.
2. Cenderung
bersifat realis.
3. Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri.
5. Bersikap
lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama.
7. Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing.
8. Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial.[2]
C. Manusia Usia
Lanjut Dan Agama
Tahap usia
lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunanya
lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya. Penurunan
ini, terutama penurunan otak digambarkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:
....dan
diantara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling hina (tua renta),
supaya dia tidak mengetahui segala sesuatupun yang pernah diketahuinya.... (QS
an-nahl 16:70)
Berkaitan
dengan berbagai penurunan di usia tua. Nabi muhammad SAW pernah berdoa kepada
Allah: “dan aku berlindung kepadamu dari usia yang paling hina (tua renta)”.
Namun orang yang baik tidak akan menyesali umurnya yang panjang sebagaimana
dinyatakan hadits:
“Sebaik-baiknya
kamu adalah orang yang panjang umurnya dan baik pula amalanya”(HR At-tirmidhi)[3]
Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama
ternyata meningkat. Dalam banyak hal tak jarang para ahli psilologi
menghubungkan kecenderungan peningkatan kehidupan keagamaan dengan penurunan
kegairahan seksual, mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini william
james menyatakan, bahwa umur keagamaan yang luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia tua. Agaknya pendapat william james masih banyak dijadikan
rujukan dalam melihat korelasi antara kehidupan keagamaan dengan kehidupan
seksual.
Secara
garis besarnya ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah
mencapai tingkat kematangan.
2. Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai
muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4. Sikap
keagamaan cenderung mengarah pada kebutuhan saling cinta antarsesama manusia,
serta sifat-sifat luhurnya.
5. Timbul
rasa takut kepada kematian yang sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan
takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan bentuk sikap keagamaan dan
kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Pada dasarnya
terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam rangka mennuju
kematangan beragama, yaitu:
a. Faktor
diri sendiri
Faktor
ini terbagi menjadi dua yaitu kapasitas diri dan pengalaman.
b. Faktor
luar
Yang
dimaksud dengan faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang
tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang malah justru menganggap
tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor tersebut antara
lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Berkaitan dengan sikap keberagamaan,
willliam starbuck sebagaimana yang dipaparkan oleh william james, mengemukakan
dua faktor yang memengaruhi sikap keagamaan seseorang yaitu:
1. Faktor
internal, terdiri dari:
a. Temperamen
Tingkahlaku yang
didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap
keberagamaan seseorang. Seperti seseorang yang melankolis akan berbeda dengan
orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandanganya terhadap
agama. Hal demikian juga akan memengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan
Jiwa
Orang yang menderita
gangguan jiwa menunjukan kelainan pada sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk
keagamaan dan pengalamaan keagamaan seseorang yang ditampilkan pada gangguan
jiwa yang mereka rasakan.
c. Konflik
dan Keraguan
Konflik dan keraguan
ini dapat mempengaruhi sikap seseorang
terhadap agama, seperti taat, fanatik, ataupun ateis.
d. Jauh
dari Tuhan
Orang yang hidupnya
dari tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup terutama
saat menghadapi musibah.
2. Faktor
eksternal, yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a) musibah
b) kejahatan.[4]
D. Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Dilingkungan
peradaban barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada manusia usia
lanjut dilakukan dengan menempatkan di patijompo. Dipanti ini para manusia usia
lanjut ini mendapatkan perawatan yang intensif. Sebaliknya, dilingkungan
keluarga umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga
berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para
manusia usia lanjut.
Disatu
pihak memang terkadang mereka yang berusia lanjut itu memiliki sikap dan
tingkah laku yang berbeda dengan mereka yang masih muda, anak atau cucu mereka.
Perbedaan ini menimbulkan ketidakharmonisan keluarga yang terdapat manusia usia
lanjut. Kondisi seperti itu umumnya dinilai sebagai sesuatu yang menyulitkan.
Tradisi
keluarga barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka kepanti jompo
merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak pada orang tuanya. Sebaliknya,
membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada dilingkungan keluarga
cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab, umumnya pada orang tua yang
tinggal dilingkungan keluarga dalam kesendirian.
Lain
halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia
usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang
tua yang berusia lanjut dibebenkan pada anak-anak mereka, bukan kepada badan
atau panti asuhan, termasuk panti pompo . perlakuan terhadap orang tua menurut
tuntunan islam berawal dari rumah tangga allah menunjukkan pemeliharaan secara
khusus orang tua yang sudah lanjut usia memerintahkan kepada anak-anak mereka
untuk memerlakukan kedua orangtua mereka dengan kasih sayang.[5]
Dalam
islam menghormati dan menghargai serta berbakti kepada orangtua merupakan
kewajiban yang harus dipatuhi, karena begitu besar pengorbanan kedua orang tua.
Sampai Allah
berwasiat kepada umat manusia untuk berbuat baik kepada keduanya terlebih ibu.
Dalam
ayat yang lain Allah mengatakan bahwa ketika kedua orang tua memeksamu untuk
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kau tidak mengetahuinya maka janganlah
engkau ikuti dia dan pergaulilah dengan baik selama di dunia, hal itu
menunjukan bahwa kepada orang tua yang syirikpun seorang anak harus berbuat
baik selama hidupnya di dunia, terlebih jika kedua orang tuanya orang yang beriman kepada Allah maka tidak ada alasan
yang bisa dibenarkan untuk tidak berbakti kepadanya.[6]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Sehubung
dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka kaitannya
dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik
antara keduanya. Dengan demikian,
perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia
lanjut.
Perkembangan
pada Masa Dewasa ada tiga tingkatan, yaitu:
·
Masa
dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil
dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
·
Masa
dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup
yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara
konsisten.
·
Masa
dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan
kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang
sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Perkembangan jiwa keagamaan pada masa usia lanjut
Masalah-masalah
keberagamaan pada masa masa ini, minat dan kegiatan beragama. Hidup menjadi
kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti.
Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Jalaluddin. 2010. Psikologi agama. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Ø Hasan, Purwakania Aliah. 2006.Psikologi Perkembangan Islami.
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Ø Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.
Ø Juwariyah. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta: Sukses Offset.
[2] Jalaluddin,
Psikologi Agama, (Jakarta:PT Grafindo Persada, 2010), hlm.
[3] Aliah
Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2006), hlm.116.
[4] Sururin, Ilmu
Jiwa Agama, (Jakarta:PT raja grafindo persada, 2004), hlm.92-96.
[5] Jalaluddin, Op
Cit, hlm.117-118
[6] Juwariyah, Hadis
Tarbawi, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), hlm. 17